Oleh : Miler Krisdoni (Wartawan Madya)
Menganggap salah tokoh dan pejabat publik bermain media sosial di era digitalisasi komunikasi merupakan kemunduran dalam berpikir, justru dijaman teknologi komunikasi semakin canggih, harusnya setiap orang bisa memanfaatkan peluang itu sebagai wadah baru untuk mendukung kehidupan. Tentunya tidak hanya untuk berkomunikasi, tetapi juga untuk interaksi sosial lebih jauh, bahkan bisa untuk meningkatkan perekonomian.
Maka, terdengar aneh dan lucu saja, ketika ada kritikan terhadap Bupati Solok terpilih, Jon Firman Pandu, SH, yang sekarang ini masih menjabat dan aktif sebagai Wakil Bupati Solok dengan segala bentuk kegiatan yang ditampilkan melalui akun media sosial yang dimilikinya.
Dan bukan juga, berarti program kerja tidak penting untuk ditampilkan, tetapi tidak mungkin juga seluruh prosesnya kan? Karena bagi masyarakat itu yang penting adalah hasilnya.
Untuk itu Jon Firman Pandu (JFP) yang baru saja terpilih, dan kalaupun sudah dilantik dan diambil sumpah tentunya juga akan melaksanakan apa yang sudah menjadi ketetapan di APBD Tahun Anggaran 2025 bersama DPRD Kab. Solok sebelumnya, dan baru pada tahun berikutnya JFP mulai dapat merealisasikan seluruh janji-janji politik yang pernah disampaikan ke masyarakat. Jadi terlalu dini mempertanyakan program kerja.
Harusnya ketika Jon Firman Pandu (JFP) bermedia Sosial, mestinya di apresiasi. Karena tidak semua tokoh politik dan pejabat publik juga berani tampil terbuka bagi khalayak umum, bahkan masih ada pejabat yang sengaja menghindar dari sorotan media, baik itu media resmi, maupun media sosial. Mestinya pejabat seperti inilah yang layak dipertanyakan…!
Dengan bermain media sosial, setidaknya masyarakat bisa lebih dekat dan tahu apa saja kegiatan pemimpin mereka sehari-hari, baik di saat bekerja, maupun kegiatan diluar dinas.
Kemudian sebagai pejabat publik yang dipercaya melalui tangan langsung rakyatnya, JFP sebagai politisi tentunya sah-sah saja, ketika juga terus berusaha mempertahankan citra dan popularitasnya di mata publik yang di pimpinnya, dan tidak yang salah dengan hal tersebut.
Justru yang aneh itu, ketika Jon Firman Pandu yang terpilih menjadi Bupati Solok pada Pemilu Pilkada 2024 baru-baru ini, tiba-tiba tidak lagi aktif media sosial, karena tidak dapat dipungkiri, jika tokoh yang dikenal ‘low profile’ ini justru makin dikenal dan populer itu lewat media sosial.
Karena memang faktanya peran media tidak bisa dikesampingkan bagi para tokoh publik, jika dulu politisi untuk dikenal harus bisa tampil di televisi, sekarang para politisi tersebut bisa mendapatkan pamor melalui media sosial, seperti X (dulu Twitter) atau Instagram.
Karena dari media sosial, para pejabat bisa membagikan video pembaruan tentang program kerja dan proyek yang dikerjakan. Dengan bermain media sosial, informasi bisa disampaikan dengan ringan dan santai sehingga mudah diterima masyarakat pada umumnya.
Kemudian, bagi negara pun tidak ada salahnya jika pejabat bermain media sosial, bahkan negara hadir dan mendorong pejabat untuk ikut menggunakan akun pribadi yang dimilikinya untuk aktif di media sosial.
Seperti halnya disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara, yang mengajak setiap pejabat publik untuk memiliki dan menggunakan akun media sosial. Hal ini diperlukan, agar pejabat publik dapat cepat merespons apa yang diinginkan masyarakat.
“Setiap pejabat publik sudah saatnya punya akun media sosial, agar cepat dapat merespons apa yang diinginkan oleh publik,” katanya saat memberikan Keynote Speech dalam Rapat Kerja Nasional Komisi Informasi seluruh Indonesia di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Selasa (28/8), melalui keterangan tertulis.
Karena menurutnya keberadaan media sosial di pemerintahan dapat mengubah perspektif lembaga publik dan birokrasi di seluruh dunia. Baru-baru ini, istilah ‘politik digital’ sudah mulai mendapat atensi lebih dari masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda yang biasa disebut “Gen-Z”.
Jurnalisme, kampanye politik, dan berbagai kegiatan aktivisme digital lainnya dapat dilakukan hanya dari genggaman tangan. Aktivisme digital memungkinkan masyarakat untuk berpolitik kapanpun, dimanapun, dan tidak terbatas ruang dan waktu.
Bahkan, Chadwick dan Howard dalam bukunya Routledge Handbook of Internet Politics menyatakan bahwa internet (media sosial) telah berevolusi menjadi media yang mendasari sistem komunikasi politik masyarakat (Chadwick & Howard, 2009). Di lansir dari https://www.komdigi.go.id/berita/sorotan-media/detail/menkominfo-dorong-pejabat-publik-gunakan-akun-media-sosial.
Bahkan dalam web resmi Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia juga membahas peran penting media sosial dalam berpolitik, yang ditampilkan melalui link reminya dengan mengemukan pendapat ilmuwan dunia: https://www.setneg.go.id/baca/index/politik_digital_keterlibatan_media_sosial_dalam_meningkatkan_partisipasi_politik_generasi_muda_pada_pesta_demokrasi_2024
John Postill dalam Digital Politics and Political Engagement mengungkapkan bahwa konsep politik digital dibagi menjadi beberapa bidang, yaitu: 1) pemerintahan digital, 2) demokrasi digital (masyarakat, musyawarah, partisipasi), 3) kampanye digital (partai, kandidat, pemilihan umum), dan 4) mobilisasi digital (kelompok kepentingan dan gerakan sosial) (Postill, 2020). Postill setuju bahwa di era globalisasi ini, perkembangan media sosial begitu cepat dan cukup efektif digunakan sebagai media penyebar informasi mengenai kehidupan politik dan dapat diimplementasikan dengan berbagai cara, seperti blogging, vlogging, atau kampanye digital lainnya.
Dengan memanfaatkan kesempatan ini, dan dengan diiringi upaya-upaya positif yang dilakukan oleh lembaga yang bersangkutan dan para calon pemimpin yang diusung pada pesta demokrasi tahun 2024, para paslon dapat lebih mudah untuk mendapatkan dukungan serta menarik atensi masyarakat dalam menghadapi pesta demokrasi 2024, khususnya atensi dari generasi milenial. Lingkup pembicaraan mengenai politik digital bukan hanya tentang bagaimana kegiatan politik direplikasi secara daring, karena politik digital tidak hanya mendukung tindakan yang telah ditentukan melainkan membuka ruang tindakan baru (Coleman & Freelon, 2015).