Muaro Paneh, Denbagus.co___Masyarakat di Minangkabau pada prinsipnya menjalankan adat sabatang panjang, adat sebatang panjang merupakan adat yang berlaku sama pada seluruh daerah (nagari) yang ada di Minangkabau secara umum. Dimana aturan adat sabatang panjang itu sendiri, lahir dari salah satu hasil perjanjian Marapalam antara tokoh adat dan agama yang ada di alam Minang Kabau.
Dimana menurut adat sebatang panjang yang berpedoman pada Al-Qur’an dan hadist salah satu contoh disepakati bahwa garis keturunan masyarakat orang Minangkabau menganut sistim Matriakat, yakni garis keturunan ibu, dan itu sudah dijalani oleh masyarakat Minangkabau dari jaman dahulunya.
Selain adat sabatang panjang, juga ada dikenal dengan istilah adat salingka nagari, dimana adat yang berlaku hanya pada satu nagari tertentu saja. Dimana adat pada nagari yang berdekatan tidak tertutup kemungkinan akan memiliki adat atau kebiasaan yang berbeda pula. Seperti halnya makanan atau sambal adat pada perjamuan perhelatan adat pada satu nagari. Disetiap nagari itu biasanya memiliki satu ciri khas makanan yang wajib dihidangkan dalam jamuan adat mereka.
Tetapi dari dua prinsip kehidupan adat di Minangkabau, baik itu adat sabatang panjang, ,maupun adat salingka nagari, aturan mengenai warisan harta adat, baik sako, pusako, dan sangsako boleh dikatakan tidak jauh berbeda. Dimana dalam pengaturan hak warisan ini hampir belaku di seluruh alam Minangkabau.
Seperti halnya berlaku, dan dijelaskan oleh Ketua Kerapatan Adat Nagari Muaro Paneh Kecamatan Bukit Sundi, Kabupaten Solok Propinsi Sumatera Barat, Elson Datuak Rajo Gamuyang. Satu aturan adat yang memilki kesamaan antara nagari Muaro Paneh dengan nagari lainnya di Minangkabau, yakninya menganut sistem keturunan matriakat, termasuk juga perlakuan aturan adat terkait pewarisan sako dan pusako dinagari tersebut. Khusus pada harta pusaka tinggi, di Nagari Muaro Paneh tidak boleh diperjual belikan.
Dari penjelasan Dt. Rajo Gamuyang, khusus di Nagari Muaro Paneh, dari dahulunya terkenal ramah dengan masyarakat pendatang, warga pendatang ini juga disebut ‘kamenakan malakok atau kamenakan bawah lutuik’, yakni warga baru yang datang ke Nagari Muaro Paneh untuk mengaku mamak dan tinggal di Nagari Muaro Paneh.
Kepada warga yang baru datang ini, mereka akan di ijinkan tinggal di atas lahan pusako tinggi milik sebuah kaum (suku) yang ada di Nagari Muaro Paneh dengan syarat, mereka wajib patuh dan tunduk kepada aturan adat yang melekat dengan kaum tersebut.
“Ketika ada warga baru yang datang dan ingin tinggal, yang ditampung oleh sebuah kaum, maka lokasi atau tanah pusako tinggi tempat mereka tinggal itu tidak boleh diperjual belikan. Baik oleh kaum yang memberi ijin, maupun bagi warga baru yang diberikan ijin tinggal tetap dilokasi tersebut, karena mereka hanya memilki hak pakai sampai turun temurun. Tetapi mereka akan di izinkan tinggal dengan syarat “sabarek saringan’ (mengikuti aturan) dengan ninik mamak kaum tempat mereka menempel (menumpang) itu. Dan mereka, warga yang baru datang juga akan diberikan suku yang sama dengan kaum tersebut, walaupun suku mereka sebelumnya berbeda” tutur Dt. Rajo Gamuyang di kediaman pribadinya, Rabu (30/10/2024) di Nagari Supayang.
“tetapi perlu diketahui, ketika ‘kemenakan malakok’ ini ingin pulang kembali ke kampung asalnya mereka berada, maka harta pusaka tinggi tempat mereka tinggal (tanah) itu wajib kembali kepada kaum (suku) asal mereka yang memberikan izin tinggal. Artinya tidak boleh dipindah tangankan kepihak lain dengan cara apapun.” tegas Dt. Rajo Gamuyang.
Seterusnya, selain kemenakan malakok/ kemenakan dibawah lutuik/urang datang, ada juga orang yang mendapatkan tanah perumahan, nama nya “isi adat”, dimana warga baru ini harus patuh menurut adat sabarek saringan jo kaum mamak , tapi tdk boleh dipindah tangankan/dijual, tambah Dt Rajo Gamuyang.
Tetapi seiring berjalannya waktu, dan semakin bertambahnya jumlah masyarakat dan pendatang yang ada di Nagari Muaro Paneh, tidak bisa dihindari, Dt. Rajo Gamuyang menyebutkan ada juga harta pusaka tinggi yang terjual dengan alasan yang jelas, dan diperbolehkan oleh hukum adat di Nagari Muaro Paneh, termasuk juga diduga harta pusako tinggi yang dijual oleh beberapa oknum ninik mamak yang diluar ketentuan adat dengan alasan yang mereka buat sendiri.
“Sesuai aturan adat yang ada di nagari Muaro Paneh, sebenarnya juga ada 4 macam alasan harta pusaka tinggi bisa diperjual belikan yang kewenangannya berada ditangan mamak kepala waris; pertama, ‘rumah gadang katirisan’(Rumah Gadang Kaum yang sudah Hancur). Kedua, ‘Gadis Gadang tak balaki’(Gadis Minang Yang sudah lewat umur, tetapi belum bersuami). Ketiga, ‘tabujua mayik didalam rumah’(Menyelamatkan mayat orang meninggal diatas rumah), dan Ketempat Mambangkik batang Tarandam ( mengembalikan Sako dan Pusako yang sudah lama terpendam / terlipat) ” terang Elson Dt Rj gamuyang.
Dengan segala persoalan waris, atau harta yang diatur oleh adat, disitulah beratnya tanggung jawab berat seorang Ninik mamak ‘Baban barek Singguluang batu’, termasuk bagi dirinya sebagai Ketua Kerapatan Adat Nagari Muaro Paneh.
“Terutama dalam hal adanya permintaan tanda tangan kepada dirinya selaku ketua KAN, dirinya harus betul-betul jeli, dan harus melihat seluruh hal yang menjadi syarat untuk permasalahan tanah tersebut. Karena jika tidak menguasainya, bisa menjadi bibit perpecahan sebuah kaum ditengah-tengah nagari,” paparnya.
Kemudian, dalam penandatanganan sebuah surat transaksi pada permasalahan tanah Pusako. Apakah jual beli atau hibah, serta hak pakai bagi kemenakan dibawah lutuik? Semuanya harus terang, termasuk penulisan nama asli dan gelar yang ikut bertanda tangan.
“Karena jika cuma di tuliskan gelar saja, maka surat yang dimaksud tidak sah, karena secara jabatan adat, itu adalah personal yang bertanggung jawab, tidak gelar yang dituliskan saja. Karena gelar itu akan turun temurun, sementara perbuatan dilakukan oleh orang pada saat masanya saja,” ujar ketua KAN Muaro Paneh, Elson Datuak Rajo Gamuyang.
Hal senada juga dikuatkan oleh Ketua seksi perdamaian adat pada Kepengurusan KAN Muaro Paneh, Nazar Datuak Rajo Intan.
Menurutnya, seluruh persoalan pengajuan transaksi terkait tanah Pusako tinggi di Nagari Muaro Paneh harus jelas, termasuk siapa yang bertanda tangan.
“Pusaka tinggi itu adalah milik kaum, harta Pusako tinggi itu yang memiliki itu harus sesuai dengan Ranji atau garis keturunan yang bersangkutan. Mulai nenek, siapapun, termasuk yang akan lahir didalam kaum tersebut ada haknya atas harta Pusako tinggi. Jadi jika ada jual beli atau hibah atas harta tersebut, maka seluruh orang yang ada dalam Ranji garis kaum tersebut harus ikut bertanda tangan,” tegas Dt. Rajo Intan.
Selanjut, dalam penyelesaian sengketa harta Pusako Tinggi di Nagari Muaro Paneh, KAN Muaro Paneh berpedoman kepada peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 8 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Penyelesaian sengketa Sako Jo Pusako Wilayah Propinsi Sumatera Barat.
Dikatakannya, Dasar bagi kerapatan adat nagari bagi masyarakat yang ingin menyelesaikan sengketa ada 6(enam) syarat yang harus terpenuhi. (1) Ranji garis keturunan yang bersangkutan, (2) Keterangan timbal balik yang bersengketa, (3) Surat-surat yang bisa membuktikan, (4) Saksi, (5) Saksi Ahli, (6) Orang yang di tuakan dalam kaum yang bersengketa.
Dari pendapat dua tokoh adat Nagari Muaro Paneh ini , khusunya terkait penulisan nama asli dan gelar adat pada surat-surat transaksi harta pusaka tinggi. Dimana dalam menandatangani, baik yang bertransaksi, maupun seluruh saksi mestinya menuliskan nama asli dan gelar adat. .
“Harusnya dalam menandatangani surat-surat adat, baik terkait harta pusaka, dan hal lainnya harus mencantumkan nama aslinya, contohnya nama saya Nazar Dt. Rajo Intan. Tidak bisa gelar saja. Jadi jelas siapa yang menandatangani. Karena gelar akan berganti-ganti orangnya,” pungkas Dt. Rajo Intan yang sekarang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Kerapatan Alam Minang Kabau (LKAAM) Kab. Solok. Kamis, (31/10/2024) di Rumah kediamannya di Nagari Muaro Paneh. (Eli)