Kab. Solok, Denbagus.co—Maling dalam arti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah mengambil milik orang lain secara sembunyi-sembunyi. Dalam kasus korupsi diksinya koruptor.
Namun, penggunaan kata tersebut dinilai tidak layak. Bahkan media pun kini mengganti diksi koruptor menjadi maling. Pada Agustus 2021, sebanyak 170 media menyatakan mengganti diksi itu menjadi maling, garong dan rampok.
Langkah ini mendapat dukungan publik. Pembahasan kata maling ini berkaitan dengan aksi demo atau unjuk rasa yang terjadi di Kabupaten Solok, Sumatera Barat beberapa hari lalu.
Massa aksi demo yang terdiri dari 74 nagari menggeruduk gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Solok. Mereka tidak terima uang yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat kecil. Justru dimakan oleh wakil yang pernah ia pilih itu.
Massa pada saat itu berteriak minta anggota DPRD yang maling uang rakyat itu turun menemui mereka dan meminta maaf.
Namun, sayangnya bukannya menerima aspirasi, justru kritikan itu membuat panas wakil rakyat yang terhormat tersebut. Pak dewan dan ibu dewan tidak terima.
Bahkan dalam sebuah media diberitakan ada anggota dewan yang menantang untuk menunjukkan bukti.
Anehnya, atau mungkin kurang berkoordinasi, anggota DPRD lainnya justru secara tidak sengaja mengaku mengambil uang itu tetapi sudah mengembalikannya.
Dari pernyataan dua anggota DPRD tersebut menjelaskan pengakuan mereka maling, tetapi dibungkus dengan kata-kata sudah mengembalikan.
Yang bikin geli. Ada juga anggota DPRD yang dalam berita tersebut mengatakan itu hanya kesalahan administrasi.
Wow! Sejak kapan mark up dan fiktif berjamaah disebut kesalahan administrasi.
Baru pada Juli 2023 lalu, 17 anggota DPRD Tanggamus terjerat kasus mark up yang merugikan Negara Rp7,7 miliar. Nilai ini sedikit lebih besar dibanding DPRD Kabupaten Solok Rp5,7 miliar.
Dan menjadi sejarah kelam juga pada 2018, sebanyak 41 dari 45 anggota DPRD Malang jadi tersangka kasus korupsi. Bagi anggota DPRD Kabupaten Solok yang menantang minta bukti, mungkin juga lupa atau amnesia karena terlalu sibuk pikirkan Rp5,7 miliar.
Padahal, kalau mereka memang jeli terhadap aturan yang berlaku di negara ini terhadap terduga koruptor.
Pada Pasal 4 UU Tipikor jelas menyatakan, “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.” Penjelasan Pasal 4 UU Tipikor menyatakan, “Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal yang dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu factor yang meringankan.”
Boleh di lihat, jejak sekarang tak hanya sidik jadi, tapi jejak digital. Di mesin pencari google jika diketik puluhan anggota DPRD Kabupaten Solok dipanggil Kejari, bakal keluar semua infomasi itu.
Perlu diketahui hasil BPK bukan bersifat rahasia. Entah siapa yang membisikkan, atau alergi dikritik karena maklum lagi masa kampanye. Anggota DPRD yang mengaku berada di lembaga terhormat itu justru kini melaporkan masyarakatnya ke Polda Sumbar. Ga bahaya tu?
Di Minangkabau cerita ini mirip maling kundang, atau istilah kacang lupa pada kulitnya, manggadangan (membesarkan) anak ula (ular), bisa juga anak batu lado (Batu penggilingan cabe trasisional).
Masyarakat yang mendudukkannya di kursi empuk DPRD, kini ia balas dengan cara ingin menjebloskannya ke penjara.
Padahal, aksi demo atau unjuk rasa diamanahkan melalui undang-undang tentang kebebasan berpendapat.
Melaporkan peserta aksi demo ke polisi menunjukan ada yang salah dalam struktur berpikirnya. Padahal, dalam aksi unjuk rasa itu dihadiri ninik makak, bundo kanduang, tokoh masyarakat, dan pemuda dari 74 nagari yang tak rela wakilnya mencuri uang rakyat.
Bahkan mereka nekat menghadang hujan dan panas saat berunjuk rasa. Layakkah perilaku anggota yang katanya terhormat seperti ini?
Perlu diketahui, ini akan menjadi cacatan sejarah demokrasi di Sumatera Barat. Belum ada sejarahnya anggota DPRD yang didemo melaporkan peserta demonya ke polisi.
Berkaca pada aksi demo pada tahun 2020 di DPRD Sumbar. Massa terlibat kericuhan. Bahkan ketua DPRD pada saat itu dilempari oleh massa. Pada 2014 juga ricuh di DPRD Sumbar dan masih banyak lagi kritikan pedas untuk wakil rakyat.
Mulai dari teriakan maling, sarang koruptor dan sebagainya keluar dari mulut peserta aksi. Dan yang masih segar dalam ingatan ketika Presiden SBY saat itu didemo massa pada 2010, dengan menyindir dengan cara membuat tulisan SiBuYa pada badan kerbau.
Menjadi anggota DPRD adalah jabatan. Melekat sebagai wakil yang diletakkan sebagai penampung aspirasi, dan kritikan.
Maka tak salah rasanya, dalam kondisi seperti ini pengamat politik Rocky Gerung mengecap orang itu sebagai “Dungu”. Dan itulah kenapa pemerintah menggratiskan sekolah hingga 9 tahun. (Mkd)